Dari Bangku Kuliah ke Medan Perang: Di Mana Kita Meletakkan Nilai Kemanusiaan?

Di masa sekarang, banyak hal berkembang begitu cepat. Teknologi melaju tanpa jeda, informasi menyebar dalam hitungan detik, dan sayangnya, konflik juga semakin kompleks. Salah satu fenomena yang mulai terlihat adalah bagaimana lulusan universitas – orang-orang yang dulunya belajar filsafat, teknik, ekonomi, bahkan seni – akhirnya terseret ke dalam peran yang berhubungan langsung dengan dunia militer atau pertahanan. Pertanyaannya: di mana nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya menjadi bekal utama dari pendidikan tinggi?

Kuliah bukan hanya soal nilai akademis. Di sana, kita belajar berpikir kritis, memahami perbedaan, dan membentuk empati. Namun ketika para sarjana justru menciptakan sistem senjata, mengembangkan drone tempur, atau merancang algoritma yang bisa menentukan hidup dan mati seseorang dari jarak jauh, maka perlu ada refleksi mendalam. Apakah ilmu yang mereka pelajari masih membawa misi kemanusiaan, atau justru telah dibelokkan untuk kepentingan kekuasaan?

Teknologi memang netral. Namun, tangan yang mengarahkan teknologi itulah yang menentukan dampaknya. Seorang insinyur bisa menggunakan kemampuannya untuk membangun rumah sakit digital atau menciptakan sistem senjata pintar. Seorang ahli data bisa menganalisis pola kelaparan di daerah miskin, atau menyusun strategi serangan siber yang melumpuhkan infrastruktur negara lain. Semua kembali ke pilihan, dan pilihan itulah yang menunjukkan nilai kemanusiaan seseorang.

Tidak bisa dipungkiri, dunia ini penuh ketegangan. Tapi justru karena itulah, para cendekiawan dan lulusan perguruan tinggi punya tanggung jawab moral. Pendidikan bukan hanya tentang mencerdaskan otak, tapi juga mengasah hati. Jika semua yang kita pelajari di bangku kuliah hanya digunakan untuk memperkuat konflik, maka mungkin kita perlu mempertanyakan arah pendidikan kita selama ini.

Lalu, apa yang bisa kita lakukan?

Pertama, penting bagi mahasiswa dan akademisi untuk terus mempertanyakan dampak dari apa yang mereka kerjakan. Jangan hanya puas dengan prestasi teknis, tapi juga pikirkan akibat sosial dan kemanusiaannya. Kedua, institusi pendidikan perlu menanamkan etika dan tanggung jawab global dalam setiap program studi. Apakah mahasiswa teknologi diberi pemahaman tentang hak asasi manusia? Apakah mahasiswa bisnis belajar tentang kesenjangan dan keberlanjutan? Jika tidak, maka kita sedang melahirkan generasi cerdas tapi mungkin kehilangan arah.

Ketiga, masyarakat umum juga berperan. Kita harus kritis terhadap inovasi. Bukan berarti menolak kemajuan, tapi bertanya: “Siapa yang diuntungkan? Siapa yang dirugikan? Apakah ini membangun, atau justru menghancurkan?”

Di tengah berbagai kemajuan, mari kita tetap bertanya: apa arti sebuah gelar jika tidak diiringi nurani? Apa makna sebuah penelitian jika hasilnya justru membawa luka?

Akhirnya, kita semua ingin hidup dalam dunia yang damai, adil, dan manusiawi. Untuk itu, setiap langkah – baik di laboratorium, kantor, kelas, atau bahkan ruang rapat – perlu diarahkan untuk membangun, bukan menghancurkan. Dan di sanalah, nilai kemanusiaan seharusnya ditempatkan: di tengah segala kemajuan, sebagai kompas yang menuntun arah.

Komentar

Postingan Populer